Kamis, 08 Desember 2016

Sejarah Banten




Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan Kota Pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan Masyarakat yang terbuka dan Makmur. Banten juga merupakan bagian dari Kerajaan tarumanagara. Salah satu Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidang Hiyang atau Prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak ditepi Cidang Hiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf pallawa dan bahasa Sa3333nsekerta. Isi Prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten menjadi salah satu Pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu Pelabuhan Kerajaan itu selain Pelabuhan Pontang, Cigede, Tangerang, Kalapa dan Cimanuk.

Sekilas perjalanan keturunan Kesultanan Banten

Menurut sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat), Prabhu Siliwangi ini menikahi seorang puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga Caruban bernama Rara Subanglarang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Krawang, dengan syarat menikah secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan di dudukkan di Keraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan di perkenankan tetap melakukan sembahyang lima waktu. Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang dari Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga orang keturunan, ialah : Pangeran Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang.  Menurut sejarah Cirebon, salah seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran ( dari pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon, Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, seorang kemenakan dari putera adiknya, Nyai Rara Santang. Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran
Menurut sejarah Banten, Putera Prabhu Siliwangi Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari kentring Manik Mayang Sunda, yang merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal. Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan Dipati pesisir Banten. Sang Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, Syarif Hidayatullah  menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I. Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga di gelari Gunungsepuh. Kasultanan Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya kerajaan-kerajaan yang tersisa kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal hubungan wangsa Kediri di Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram Ngayogyakarta. Bahkan dari penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten Darussalam memiliki 4 propinsi di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat. Dua  propinsi adalah Daerah Istimewa, dan salah satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI Jakarta.
Sultan Maulana Hasanuddin menikah dengan 2 orang isteri. Isteri pertamanya ialah puteri Sultan Demak III, Trenggono. Dari pernikahan dengan isteri pertama berputera sulung Maulana Yusuf. Dan putera kedua di angkat menjadi Dipati Jepara.
Dengan pernikahan dari isteri kedua, berketurunan puteri. Nantinya puteri Banten ini yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh Yusuf dari kerajaan Tallo menikah dengan puteri Banten  ( adik) saudara  Sultan Banten (II), Maulana Yusuf. Keturunannya nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin, ayam jantan dari timur. Yang pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika Selatan. Atau juga di sebut Cape oleh lidah barat.
Setelah Maulana Hasanuddin mangkat, putera sulungnya Maulana Yusuf di angkat menjadi Sultan Banten ke-2. Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk meluaskan wilayah kasultanan Banten.  Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk menguasai kedaton terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Riwayat Perjuangan :
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar