Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan
Kota Pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan Masyarakat yang terbuka dan
Makmur. Banten juga merupakan bagian dari Kerajaan tarumanagara. Salah satu
Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidang Hiyang atau
Prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak ditepi Cidang Hiyang, Kec.
Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua
baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf pallawa dan bahasa Sa3333nsekerta.
Isi Prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. Setelah
runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan
dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes
dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten menjadi salah satu Pelabuhan penting dari
Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu
Pelabuhan Kerajaan itu selain Pelabuhan Pontang, Cigede, Tangerang,
Kalapa dan Cimanuk.
Sekilas perjalanan keturunan
Kesultanan Banten
Menurut sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat), Prabhu
Siliwangi ini menikahi seorang puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga Caruban
bernama Rara Subanglarang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa tahun
mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Krawang, dengan syarat menikah secara
Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan di dudukkan
di Keraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan di perkenankan tetap
melakukan sembahyang lima waktu. Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang dari
Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga orang keturunan, ialah : Pangeran
Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian
Santang. Menurut sejarah Cirebon, salah
seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran ( dari
pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana
beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing
bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang
semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran
penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon,
Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad
Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan
tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan
keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja
terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga
tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan
adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana
dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara
Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian
Santang.
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri
dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah
Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif
Hidayatullah, seorang kemenakan dari putera adiknya, Nyai Rara Santang.
Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat
Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri
dari Pajajaran
Menurut sejarah Banten, Putera Prabhu Siliwangi
Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari kentring Manik Mayang Sunda, yang
merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal. Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa
Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan Dipati pesisir Banten. Sang
Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480,
Syarif Hidayatullah menikahi adik dari
Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau
mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang
kelak menjadi Sultan Banten I. Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga
di gelari Gunungsepuh. Kasultanan Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya
kerajaan-kerajaan yang tersisa kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal
hubungan wangsa Kediri di Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram
Ngayogyakarta. Bahkan dari penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten
Darussalam memiliki 4 propinsi di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi
Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi
Jawa Barat. Dua propinsi adalah Daerah
Istimewa, dan salah satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI Jakarta.
Sultan Maulana Hasanuddin menikah dengan 2 orang
isteri. Isteri pertamanya ialah puteri Sultan Demak III, Trenggono. Dari
pernikahan dengan isteri pertama berputera sulung Maulana Yusuf. Dan putera
kedua di angkat menjadi Dipati Jepara.
Dengan pernikahan dari isteri kedua, berketurunan
puteri. Nantinya puteri Banten ini yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh
Yusuf dari kerajaan Tallo menikah dengan puteri Banten ( adik) saudara Sultan Banten (II), Maulana Yusuf. Keturunannya
nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin, ayam jantan dari timur. Yang
pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika Selatan. Atau juga di sebut
Cape oleh lidah barat.
Setelah Maulana Hasanuddin mangkat, putera sulungnya
Maulana Yusuf di angkat menjadi Sultan Banten ke-2. Maulana Yusuf juga
meneruskan misi ayahandanya untuk meluaskan wilayah kasultanan Banten. Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk
menguasai kedaton terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf
wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada
anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih
terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan
oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional
sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa
kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang
sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500
hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12
Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat
Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia
yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat
perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung.
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh
pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti
dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi
klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman
William Daendels tahun 1808.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah
putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650.
Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat
menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah
kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul
Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan
keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan
di Mesjid Banten. Riwayat Perjuangan :
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten
pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa
itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan
Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai
pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan
Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan
mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai
mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan
Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan
Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung
pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan
mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar