Sabtu, 31 Desember 2016

Dimensi Keberagaman

Pada hakikatnya mausia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat
dijangkau dengan perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural
yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan
diri kepada kekuatan tersebut dicptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta
sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara,
menyediakan sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan
yang membudaya pada nenek moyang kita seperti itu dipandang sebagai embrio dari
kehidupan manusia dalam beragama.


Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan
hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia
dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm
berpendapat bahwa pendidikan agama seogianya menjadi tugas orang tua dalam
lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta
kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini orang tualah yang
paling cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah dengan anak. Di sini
pendidikan agama yang diberikan secara masal kurang sesuai (M. Thayeb, 1972: 14-
15). Pendapat Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas
hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Di samping itu, juga penanaman sikap
dan kebiasaan dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada
latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih lanjut
tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu pengkajian agama
secara masal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke
dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita V).
di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran
agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa pendidikan agama bukan
semata-mata pelajaran agama hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi segi-
segi afektif harus diutamakan.
Di samping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesama umat
beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat
perhatian (GBHN, Hal. 134 butir a. 1). Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama
hanya ditempuh melalui pendidikan formal. Kegitan di dalam pendidikan non-formal
dan informal dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

Sumber: http://dokumen.tips/documents/dimensi-kesusilaan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar