Selasa, 12 Desember 2017

Mengajar Itu Harus Ikhlas

Mengajar Itu Harus Ikhlas
Menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang mulia karena jasanya begitu berharga, pantas saja guru sering dikatakan pahlawan tanpa tanda jasa. Menjadi guru bukan saja masalah gaji, tetapi juga hati. Dari pengalaman mengajar, yang saya dapatkan ternyata menjadi guru itu memang tidak mudah membutuhkan kesabaran yang begitu besar menghadapi sikap siswa siswi tersebut. Yah, bisa dikatakan cape pikiran juga cape hati.
Banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi guru yang sesungguhnya mulai dari pendidikan, sikap, kebiasaan, hati juga sangat dibutuhkan. Lalu, bagaimana mengajar dengan hati ? cintai profesimu, dengan cinta sendirinya akan tumbuh kasih sayang kepada siswa. Menurut Gary Chapman, semua tingkah laku  anak adalah “bahasa cinta.” Maka, beri kasih sayang kepada siswa dengan perhatian dan tidak langsung mencap jelek siswa yang bermasalah. jika menjadi seorang guru bukanlah profesi yang dicintai maka akan membuat tidak ada kesungguhan dalam mengajar, sehingga tidak mengoptimalkan diri dalam kegiatan belajar mengajar tersebut, tapi mau jadi apa generasi penerus bangsa jika gurunya saja seperti itu. Semakin besar beban jika memikirkan generasi kita kedepannya, harus memikirkan bagaimana mendidik anak orang lain yang begitu banyak dengan karakter yang berbeda. Yang harus dilakukan adalah mengenali karakter siswa dan memahami perkembangan anak agar suksws dalam pembelajaran. Syaiful Sagala berpendapat kesiapan guru mengenal karakteristik peserta didik dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran
Beban yang begitu besar, kesungguhan yang perlu ditanamkan dari sekarang namun realitanya kadang hati ini tergoyah dengan rasa cape yang menimpa. Yah, mengajar itu melelahkan, suara hampir habis, keringet bercucuran, mundar mandir mengkondisikan siswa, tak pernah terbayangkan jika kelak menjadi guru, dimana hampir setiap hari melakukan kegiatan pembelajaran yang membutuhkan stamina lebih seperti itu.
Dari sisi lelah yang saya terima, ada sisi dimana saya begitu bangga pada diri saya, ketika anak didik saya memanggil saya dengan sebutan ibu guru, rasanya luar biasa bangga sekali dengan sebutan itu, seakan saya memang sudah pantas untuk menjadi seorang guru. Kadang, saya memikirkannya sudah pantaskah saya menjadi seorang guru? apakah saya memang cocok menjadi seorang guru? pertanyaan-pertanyaan itu sering terlintas dipikiran saya. Pikiran-pikiran tersebut masih belum bisa saya jawab karena saya sendiri tidak membulatkan hati juga menjadi seorang guru. Yang saya lakukan adalah menjalankan apa yang seharusnya dijalankan, jadi saya memilih untuk menjalankan profesi ini dengan hati yang ikhlas dan menerima semuanya.
Lelah ini saya yakin akan membuahkan hasil, letih ini membuat saya akan terbiasa nantinya menghadapi kenyataan jika memang menjadi guru itu profesi yang harus dijalankan dengan hati. Menjadi guru profesional lah yang saya mau bukan guru yang hanya mengharapkan gaji. Yah, gaji juga perlu untuk biaya hidup tapi selain hasil yang diperoleh saya juga harus bisa menjaga amanah ini untuk mendidik anak bangsa menjadi generasi penerus yang lebih baik lagi. Saya harus bisa menjaga itu, karena ini berurusan juga dengan akhirat nantinya, meskipun saya sendiri masih tahap dimana saya masih dalam keadaan yang tidak stabil, karena ada rasa malas, rasa cape, rasa pengen cepet selesai ketika saya melaksanakan kegiatan pembelajaran. Tapi dengan hati yang ikhlas, saya yakin semuanya akan hilang karena terbiasa merasakannya.
Berbicara soal gaji yang diperoleh memang sangat tidak sesuai dengan rasa cape ini. Apalagi untuk guru honor yang memang gajinya itu tidak banyak. Jika memang untuk mengharapkan mendapatkan uang banyak menjadi seorang guru bukanlah jalan yang tepat, karena dari informasi yang didaptkan jika gaji guru honor tidaklah sebanding dengan rasa cape yang dialami. Waktu dalam menjalankan profesi ini pun membutuhkan waktu yang tidak sedikit, yah guru harus meluangkan waktu membuat RPP dan lain sebagainya, belum lagi ada anak didik yang membutuhkan bimbingan yang mengharuskan guru menemui orangtuanya dan berkunjung kerumahnya, itu sangat membutuhkan waktu sekali. Lalu jika sudah punya anak bagaimana? Itu juga perlu dipikirkan ketika akan memilih menjadi seorang guru. Jangan sampai anak kita sendiri malah ditelantarkan karena kita sibuk dengan mendidik anak orang lain, jangan sampai anak kita sendiri dibebaskan karena kita sibuk dengan profesi kita, jangan sampai anak dan suami juga tidak diperhatikan karena kita harus berangkat ke sekolah pagi pagi sekali. Menurut Atkinson manajemen waktu suatu jenis ketrampilan yang berkaitan dengan segala bentuk upaya dan tindakan seorang individu yang dilakukan secara terencana agar individu tersebut dapat memanfaatkan waktunya dengan sebaik – baiknya. Maka, agar semua dapat  
Banyak hal yang yang perlu dipertimbangkan, namun semua itu tidak akan menjadi suatu masalah jika kita memilih untuk menjalankannya dengan hati. Jika hati sudah mengikhlaskan apapun yang terjadi, semua akan merasa tercukupi. Selain itu, kita juga harus bisa mengatur waktu antara pendidikan, suami juga anak nantinya agar semua  dapat terlaksana dengan baik.


Menjadi guru jika tidak disertai hati yang ikhlas akan membatin sendiri hanya cape yang diperoleh tapi kantong tidak menebal, itu akan membuat penyesalan saja. Belum lagi, jika sudah cape, mungkin akan melakukan sesuatu sesuka hati, misalkan guru masuk kelas, memberikan tugas mengerjakan lks kemudian kembali lagi kekantor dan istirahat, itu hal yang sudah tidak lazim lagi dilihat disetiap sekolah. Hal tersebut terjadi karena niatnya mulai goyah dan hati yang tidak ikhlas. Jika niat tetap terjaga, hati ikhlas menjalankannya hal tersebut tidak dilakukan, karena semuanya akan dijalankan dengan hati yang bahagia. Semoga saja, niat dan hati saya akan tetap terjaga untuk menjadi seorang pendidik yang baik.