Mengajar Itu Harus Ikhlas
Menjadi
seorang guru merupakan pekerjaan yang mulia karena jasanya begitu berharga,
pantas saja guru sering dikatakan pahlawan tanpa tanda jasa. Menjadi guru bukan
saja masalah gaji, tetapi juga hati. Dari pengalaman mengajar, yang saya
dapatkan ternyata menjadi guru itu memang tidak mudah membutuhkan kesabaran
yang begitu besar menghadapi sikap siswa siswi tersebut. Yah, bisa dikatakan
cape pikiran juga cape hati.
Banyak
hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi guru yang sesungguhnya mulai dari
pendidikan, sikap, kebiasaan, hati juga sangat dibutuhkan. Lalu, bagaimana
mengajar dengan hati ? cintai profesimu, dengan cinta sendirinya akan tumbuh
kasih sayang kepada siswa. Menurut Gary Chapman, semua tingkah
laku anak adalah “bahasa cinta.” Maka, beri kasih sayang kepada siswa
dengan perhatian dan tidak langsung mencap jelek siswa yang bermasalah. jika
menjadi seorang guru bukanlah profesi yang dicintai maka akan membuat tidak ada
kesungguhan dalam mengajar, sehingga tidak mengoptimalkan diri dalam kegiatan
belajar mengajar tersebut, tapi mau jadi apa generasi penerus bangsa jika
gurunya saja seperti itu. Semakin besar beban jika memikirkan generasi kita
kedepannya, harus memikirkan bagaimana mendidik anak orang lain yang begitu
banyak dengan karakter yang berbeda. Yang harus dilakukan adalah mengenali
karakter siswa dan memahami perkembangan anak agar suksws dalam pembelajaran.
Syaiful Sagala berpendapat kesiapan guru mengenal karakteristik peserta didik
dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi
indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran
Beban
yang begitu besar, kesungguhan yang perlu ditanamkan dari sekarang namun
realitanya kadang hati ini tergoyah dengan rasa cape yang menimpa. Yah,
mengajar itu melelahkan, suara hampir habis, keringet bercucuran, mundar mandir
mengkondisikan siswa, tak pernah terbayangkan jika kelak menjadi guru, dimana hampir
setiap hari melakukan kegiatan pembelajaran yang membutuhkan stamina lebih
seperti itu.
Dari
sisi lelah yang saya terima, ada sisi dimana saya begitu bangga pada diri saya,
ketika anak didik saya memanggil saya dengan sebutan ibu guru, rasanya luar
biasa bangga sekali dengan sebutan itu, seakan saya memang sudah pantas untuk
menjadi seorang guru. Kadang, saya memikirkannya sudah pantaskah saya menjadi
seorang guru? apakah saya memang cocok menjadi seorang guru?
pertanyaan-pertanyaan itu sering terlintas dipikiran saya. Pikiran-pikiran
tersebut masih belum bisa saya jawab karena saya sendiri tidak membulatkan hati
juga menjadi seorang guru. Yang saya lakukan adalah menjalankan apa yang
seharusnya dijalankan, jadi saya memilih untuk menjalankan profesi ini dengan
hati yang ikhlas dan menerima semuanya.
Lelah
ini saya yakin akan membuahkan hasil, letih ini membuat saya akan terbiasa
nantinya menghadapi kenyataan jika memang menjadi guru itu profesi yang harus
dijalankan dengan hati. Menjadi guru profesional lah yang saya mau bukan guru
yang hanya mengharapkan gaji. Yah, gaji juga perlu untuk biaya hidup tapi selain
hasil yang diperoleh saya juga harus bisa menjaga amanah ini untuk mendidik
anak bangsa menjadi generasi penerus yang lebih baik lagi. Saya harus bisa
menjaga itu, karena ini berurusan juga dengan akhirat nantinya, meskipun saya
sendiri masih tahap dimana saya masih dalam keadaan yang tidak stabil, karena
ada rasa malas, rasa cape, rasa pengen cepet selesai ketika saya melaksanakan
kegiatan pembelajaran. Tapi dengan hati yang ikhlas, saya yakin semuanya akan
hilang karena terbiasa merasakannya.
Berbicara
soal gaji yang diperoleh memang sangat tidak sesuai dengan rasa cape ini.
Apalagi untuk guru honor yang memang gajinya itu tidak banyak. Jika memang
untuk mengharapkan mendapatkan uang banyak menjadi seorang guru bukanlah jalan
yang tepat, karena dari informasi yang didaptkan jika gaji guru honor tidaklah
sebanding dengan rasa cape yang dialami. Waktu dalam menjalankan profesi ini
pun membutuhkan waktu yang tidak sedikit, yah guru harus meluangkan waktu
membuat RPP dan lain sebagainya, belum lagi ada anak didik yang membutuhkan bimbingan
yang mengharuskan guru menemui orangtuanya dan berkunjung kerumahnya, itu
sangat membutuhkan waktu sekali. Lalu jika sudah punya anak bagaimana? Itu juga
perlu dipikirkan ketika akan memilih menjadi seorang guru. Jangan sampai anak
kita sendiri malah ditelantarkan karena kita sibuk dengan mendidik anak orang
lain, jangan sampai anak kita sendiri dibebaskan karena kita sibuk dengan
profesi kita, jangan sampai anak dan suami juga tidak diperhatikan karena kita
harus berangkat ke sekolah pagi pagi sekali. Menurut Atkinson manajemen waktu
suatu jenis ketrampilan yang berkaitan dengan segala bentuk upaya dan tindakan
seorang individu yang dilakukan secara terencana agar individu tersebut dapat
memanfaatkan waktunya dengan sebaik – baiknya. Maka, agar semua dapat
Banyak
hal yang yang perlu dipertimbangkan, namun semua itu tidak akan menjadi suatu
masalah jika kita memilih untuk menjalankannya dengan hati. Jika hati sudah
mengikhlaskan apapun yang terjadi, semua akan merasa tercukupi. Selain itu,
kita juga harus bisa mengatur waktu antara pendidikan, suami juga anak nantinya
agar semua dapat terlaksana dengan baik.
Menjadi
guru jika tidak disertai hati yang ikhlas akan membatin sendiri hanya cape yang
diperoleh tapi kantong tidak menebal, itu akan membuat penyesalan saja. Belum
lagi, jika sudah cape, mungkin akan melakukan sesuatu sesuka hati, misalkan
guru masuk kelas, memberikan tugas mengerjakan lks kemudian kembali lagi
kekantor dan istirahat, itu hal yang sudah tidak lazim lagi dilihat disetiap
sekolah. Hal tersebut terjadi karena niatnya mulai goyah dan hati yang tidak
ikhlas. Jika niat tetap terjaga, hati ikhlas menjalankannya hal tersebut tidak
dilakukan, karena semuanya akan dijalankan dengan hati yang bahagia. Semoga saja,
niat dan hati saya akan tetap terjaga untuk menjadi seorang pendidik yang baik.