Sabtu, 31 Desember 2016

Dimensi Keberagaman

Pada hakikatnya mausia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat
dijangkau dengan perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural
yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan
diri kepada kekuatan tersebut dicptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta
sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara,
menyediakan sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan
yang membudaya pada nenek moyang kita seperti itu dipandang sebagai embrio dari
kehidupan manusia dalam beragama.


Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan
hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia
dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm
berpendapat bahwa pendidikan agama seogianya menjadi tugas orang tua dalam
lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta
kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini orang tualah yang
paling cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah dengan anak. Di sini
pendidikan agama yang diberikan secara masal kurang sesuai (M. Thayeb, 1972: 14-
15). Pendapat Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas
hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Di samping itu, juga penanaman sikap
dan kebiasaan dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada
latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih lanjut
tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu pengkajian agama
secara masal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke
dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita V).
di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran
agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa pendidikan agama bukan
semata-mata pelajaran agama hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi segi-
segi afektif harus diutamakan.
Di samping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesama umat
beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat
perhatian (GBHN, Hal. 134 butir a. 1). Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama
hanya ditempuh melalui pendidikan formal. Kegitan di dalam pendidikan non-formal
dan informal dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

Sumber: http://dokumen.tips/documents/dimensi-kesusilaan.html

Pemahaman dan Pelaksanaan Nilai

Dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai,
yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai.
Idealnya keduanya harus sinkron. Artinya untuk dapat melakukan apa yang semestinya
harus dilakukan, terlebih dahulu orang harus mengetahui, menyadari, dan memahami
nilai-nilai. Dan apabila nilai sudah dipahami semestinya dilakukan. Tetapi
kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak orang
memahami nilai bahkan mungkin mengetahui banyak hal, juga memiliki wawasan
keilmuan yang cukup luas, tetapi ternyata kurang atau tidak susila. Jadi, tidak secara
otomatis orang yang telah memahami nilai pasti melaksanakannya. Kejadian seperti itu
sangat wajar, karena memahami adalah kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan
bersedia melaksanakan adalah sikap (kemampuan afektif), yang masing-masing
memiliki kondisi yang bereda. Antara keduanya terdapat jarak yang perlu dijembatani.
Dari memahami perlu meyakini, untuk berikutnya menuju ke penginternalisasian
(penyaturagaan) nilai-nilai kemudiam kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan
nilai-nilai, baru sampai kepada melakukannya.
 
Jangankan antara memahami dan meaksanakan yang rentangannya begitu jauh,
antara niat (kesediaan untuk melaksanakan) dengan perbuatan (melaksanakan) yang
rentangnya begitu dekat saja masih sering terjadi kesenjangan. Sering niat baik sudah
menggebu-gebu tetapi tidak sampai berkelanjutan pada perbuatan. Lazimnya penilaian
masyarakat terhadap kualitas kesusilaan seseorang tertuju kepada apa yang dibuatnya
dan tidak semata-mata pada apa yang diniatkannya, sehingga niat buruk yang belum
terlakukan (jika diketahui) sering masih dimaafkan.
Berdasarkan uraian tersebut maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang
luas penggarapannya, mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada
menginternalisasi nilai sam;pai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati sampai
kepada siap sedia untuk melakukan. Meskipun demikian, tekanannya seharusnya
diletakkan pada ranah afektif. Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang
dalam pemrosesannya, berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta ketekukan
dari pihgak pendidik. Di muka telah disinggung dan hak. Adanya pertimbangan yang
selaras antara melaksanakan kewajiban dengan tuntutan terhadap hak (to give and to
take) di dalam kehidupan menggambarkan kesusilaan yang sehat. Di dalam dunia
pendidikan yang intinya adaah pelayanan, berlaku hukum “saya akan memberikan lebih
daripada yang saya terima”. 
 
Implikasi pedagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan
kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban di samping menerima hak pada peserta
didik. Pada masyarakat kita, pemahaman terhadap hak (secara objektif rasional) masih
perlu ditanamkan tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan
kewajiban. Hal ini penting, sebab kepincangan antara keduanya bagaimanapun juga
akan mengganggu suasana hidup yang sehat.
 
 
Sumber: http://dokumen.tips/documents/dimensi-kesusilaan.html

Dimensi Kesusilaan

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang
pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan
terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki
perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua
macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan
dengan persoalan hak dan kewajiban seperti telah disinggung pada A.2 d. orang yang
berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak
bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar
ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya
mengakibatkan ketidaksengajaan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu :
a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket
tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
Kedua-duanya bertalian erat.
b. Golongan yang memandang bahwa etika perlu dibedakan dari etika, karena masing-
masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan
belum tentu baik, dalam arti tidak merugikan orang lain. Sebaliknya orang yang
baik belum tentu halus dalam hal kesopanan. Kesopanan menjadi minyak pelincir
dalam pergaulan hidup, sedang etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan
masing-masing diperlukan demi keberhasilan hidup dalam bermasyarakat.
Di dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan
kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya
sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Drijakara mengartikan manusia
susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-
nilai tersebut dalam perbuatan. (Drijarkara, 1978 : 36-39). Nilai-nilai merupakan
sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan,
keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sheingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman
dalam hidup. Dilihat asalnya dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga
macam, yaitu : nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat
seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan
nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan. Meskipun nilai otonom dan
heteronom itu diperlukan, karena orang atau masyarakat hidup lekat dengan lingkungan
tertentu yang memiliki sikon berbeda-beda, namun keduanya harus bertumpu pada nilai
theonom. Yang terakhir ini merupakan sumber dari segenap nilai yang lain. Tuhan
adalah alpha dan omega (pemula dan tujuan akhir). 
 
Sumber: http://dokumen.tips/documents/dimensi-kesusilaan.html

Fakta dan Penyebab Masalah Pendidikan di Indonesia

1. Fakta adanya masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi pendidikan
Dari masalah pendidikan hanya masalah partisipasi yang sekarang mengecil. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan pentingnya pendidikan dan semakin banyaknya satuan-satuan pendidikan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Sedangkan ketiga masalah pendidikan berikutnya, yaitu masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi sampai sekarang masih terjadi dan ada kecenderungan bahwa masalah-masalah pendidikan tersebut semakin besar. Ketiga masalah pendidikan tersebut tidak saling terpisahkan. Masalah efiseinsi berpeluang menimbulkan masalah efektivitas, dan selanjutnya berpeluang pula menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat Human Development Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999 peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara dan dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara; kemampuan bidang IPA siswa SLTP berada pada urutan ke 32 dari 38 negara (T. Raka Joni, 2005).
2. Faktor penyebab terjadinya masalah pendidikan di Indonesia
Masalah efisiensi pendidikan dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, program belajar dan pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan suasana sosial budaya. Demikian pula masalah efektivitas pendidikan juga dapat terjadi karena faktor tenaga kependidikan, peserta didik, kurukulum, program belajar dan pembelajaran, serta sarana/prasarana pendidikan.
Masalah relevansi pendidikan berhubungan dengan : tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus meningkat dalam upaya mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan tuntutan masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas, ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat. Kesenjangan terjadi jika komponen-komponen sistem pendidikan yang telah disebutkan di atas tidak mampu memenuhi tuntutan dan aspiranya yang ada.


Sumber:https://ebekunt.wordpress.com/2009/04/14/masalah-efisiensi-efektivitas-dan-relevansi-pendidikan-dalam-perspektif-manajemen-pendidikan/

Masalah-masalah Pendidikan di Indonesia

Upaya untuk mewujudkan visi dan misi tersebut mengalami kesulitan jika berbagai masalah dalam proses pendidikan muncul. Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Jika apa yang terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan maka masalah pendidikan telah terjadi.
Masalah-masalah pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: masalah partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2001: 496)
a. Masalah partisipasi pendidikan
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input) atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja mereka belum memiliki bekal yang mamadai.
b. Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus sekolah, meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para mahasiswa yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan pendidikannya pada waktu yang tepat.
c. Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan proses yang bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.
d. Masalah relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau indtitusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.




Referensi : https://ebekunt.wordpress.com/2009/04/14/masalah-efisiensi-efektivitas-dan-relevansi-pendidikan-dalam-perspektif-manajemen-pendidikan/

Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi



PEMBELAJARAN efektif, bukan membuat Anda pusing, akan tetapi bagaimana tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah dan menyenangkan (M. Sobry Sutikno).
Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan).
Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen atau ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik.
  1. Motivasi Intrinsik adalah jenis motivasi yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
  2. Motivasi Ekstrinsikadalah jenis motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:

1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2.  Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Saingan atau kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses pembelajaran. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran


Sumber: https://salwintt.wordpress.com/artikel/109-2/peranan-orangtua-sekolah-dan-guru-dalam-mensukseskan-pendidikan/ 

Jumat, 30 Desember 2016

ASAL USUL DAN SEJARAH DEBUS


debus banten
debus banten

Asal Usul dan Sejarah Debus

Debus adalah sebuah kesenian bela diri asli dari Banten. Kesenian ini tercipta pada masa Pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin (1532-1570 di abad ke-16 . kesenian debus biasaya mempertunjukan kekuatan atau kemampuan manusia yang luar biasa, diantaranya ilmu ke kebalan yang tahan dari hantaman senjata tajam, hempasan api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala, berjalan diatas beling, menaiki tangga golok danlain sebagainya .

Sejarah Debus

Pada jaman penjajahan Belanda tepat ketika kerajaan banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682, Debus digunaka sebagai media pembangkit semangat para pejuang untuk melawan penjajahan peragangan Belanda yang kala itu tergabung dalam Vereenigde Oost Indische (VOC).
Jika ditelaah dalam bahasa arab debus Berarti senjata tajam yang terbuat dari besi yang mempunyai ujunga yang runcing dan bentuknya sedikit bundar. Nah , karena itulah alat tersebut dipergunakan sebagai alat untuk menghantam atau melukai setiap pemain debus, yang mempertunjukan atraksi kekebalan tubuh. Selain itu juga masih banyak variasi-variasi atraksi lain seperti menusuk perut, dengan benda tajam biasa nya mengunakan paku banten yang runcing, memakan bara api, menusukan jarum panjang kelidah, kulit, pipi sampai tembus dan hasilnya tidak ada luka sama sekali dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.



Sumber: https://ciomasblog.wordpress.com/2012/04/19/17/

APA ITU KALIMAT EFEKTIF?

Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. (.), tanda tanya (?) dan tanda seru (!). Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P). Kalau tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat melainkan hanya sebuah frasa. Itulah yang membedakan frasa dengan kalimat. Disini, kalimat dibagi menjadi dua, yaitu : Efektif mengandung pengertian tepat guna, artinya sesuatu akan berguna jika dipakai pada sasaran yang tepat. Pengertian efektif dalam kalimat adalah dan ketepatan penggunaan kalimat dan ragam bahasa tertentu dalam situasi kebahasaan tertentu pula. Beberapa definisi kalimat efektif menurut beberapa ahli bahasa :

1. Kalimat efektif adalah kalimat yang bukan hanya memenuhi syarat-syarat komunikatif, gramatikal, dan sintaksis saja, tetapi juga harus hidup, segar, mudah dipahami, serta sanggup menimbulkan daya khayal pada diri pembaca. (Rahayu: 2007)
2. Kalimat efektif adalah kalimat yang benar dan jelas sehingga dengan mudah dipahami orang lain secara tepat. (Akhadiah, Arsjad, dan Ridwan:2001)
3. Kalimat efektif adalah kalimat yang memenuhi kriteria jelas, sesuai dengan kaidah, ringkas, dan enak dibaca. (Arifin: 1989)
4. Kalimat efektif dipahami sebagai kalimat yang dapat menyampaikan informasi dan informasi tersebut mudah dipahami oleh pembaca. (Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi: 2009)
5. Kalimat efektif di pahami sebagai sebuah kalimat yang dapat membantu menjelaskan sesuatu persoalan secara lebih singkat jelas padat dan mudah di mengerti serta di artikan. (ARIF HP: 2013)
    Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kata kunci dari definisi kalimat efektif yaitu sesuai kaidah bahasa, jelas, dan mudah dipahami. Jadi, kalimat efektif adalah kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa, jelas, dan mudah dipahami oleh pendengar atau pembaca.

Sumber : https://taufikhidayatzein.wordpress.com/2013/11/05/kalimat-efektif-ciri-ciri-dan-contoh-kalimat-efektif/

Tatakrama Sunda dan Peranannya dalam Kualitas Bangsa

Sinonim kata "tatakrama", yaitu sopan-santun. Jadi tatakrama Sunda berarti "sopan-santun menurut norma orang Sunda". Bila dipertajam lagi, norma orang Sunda yang mana? Saya cenderung mengacu kepada norma "urang Sunda nu ilahar" (biasa,umum). "Ilahar" dalam arti "kelompok besar yang cenderung seragam dalam perilaku sopan-santunnya", ini mengacu kepada sosio-kultural secara geografis (Tatar Sunda, Parahyangan).

Tatakrama atau sopan-santun adalah hasil proses pengadaptasian seseorang dalam bersosialisasi. Jadi tatakrama dapat dipelajari. Oleh karena itu tatakrama seseorang sangat erat kaitannya dengan kebiasaan "sopan-santun" yang diadaptasi dari lingkungan keluarga, lingkungan hidupnya dan tidak terlepas dari kemampuan seseorang dalam menyerap nilai-nilai sopan-santun yang ada di lingkungan sekitarnya.

Seseorang yang kurang peka dalam bermasyarakat, terlebih lagi bila menutup diri, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk mampu bertatakrama sesuai dengan masyarakatnya, ia akan tercabut dari akar budayanya dan pada gilirannya akan merasa asing di tengah masyarakat budayanya sendiri. Alangkah sepi dan sunyinya manusia yang menyendiri di tengah keramaian manusia lainnya.

Peran tatakrama bagi masyarakat sesuatu etnis seperti yang dikatakan oleh orang bijak bahwa: Kehormatan suatu masyarakat di antaranya tergantung pada tatakrama yang berlaku dalam masyarakat itu. Seandainya masyarakat Sunda menghadapi kekacauan dalam tatakramanya atau bahkan kehilangan tatakrama sama sekali, niscaya akan merosotlah kehormatan masyarakat tsb dalam pandangan bangsa lain. Jadi betapa pentingnya "peran" tatakrama bagi terbentuknya harga diri manusia dan masyarakatnya. Dengan demikian keterpeliharanya tatakrama (a.l Sunda) pada akhirnya menjadi daya dorong dalam mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

jadi, dapat saya simpulkan bahwa tatakrama sangant perlu dalam kehidupan.


Sumber : http://sundanet.com/article/content/197

Catatan Singkat tentang Nama Aceh dan Asal Mula Bahasa Aceh


Semua orang kenal Aceh. Provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera ini sangat dikenal dengan adat istiadat dan kekayaan alamnya. Konon katanya provinsi ini pun dikenal sebagai provinsi yang masyarakatnya sangat taat beribadah. Benarkah itu? Silakan Anda teliti sendiri!
Sebenarnya banyak hal yang belum diketahui dari Aceh. Provinsi ini seolah menyimpan misteri yang tampaknya tak akan habis diungkap sampai dengan akhir zaman nanti. Banyak orang ingin menyingkap misteri tentang Aceh. Bukan hanya masyarakat Aceh itu sendiri, melainkan juga masyarakat luar Aceh. Mereka tampaknya sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Aceh. Bukti dari ketertarikan mereka tentang Aceh adalah adanya semacam usaha untuk mengungkap misteri-misteri tentang Aceh itu.

Salah satu misteri yang tampaknya belum terpecahkan sampai dengan sekarang adalah perihal asal mula nama Aceh. Konon katanya nama Aceh merupakan singkatan dari Arab, Cina, Endia (India), Hindia Belanda. Akan tetapi, singkatan-singkatan ini tampaknya tidak memiliki sumber yang jelas.
Sebenarnya berkaitan dengan nama Aceh ini banyak ahli yang telah melakukan penelitian. Salah satu ahli yang tertarik meneliti tentang Aceh adalah Denis Lombard.
Berkaitan dengan nama Aceh, Lombard menyebutkan bahwa nama Aceh baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma Oriental yang dikarang di Malaka sekitar tahun 1950 oleh Tomé Pires yang berkebangsaan Portugis. Lombard selanjutnya mengatakan bahwa kata Aceh dieja Achei. Beberapa tahun kemudian, dalam buku yang ditulis oleh Barros yang berjudul Da Asia disebutkan bahwa pengejaan kata Aceh dengan Achei telah mengalami perubahan yang berbentuk adanya penyengauan bunyi pada akhir kata, yaitu Achem. Penyengauan bunyi ini juga terdapat dalam naskah-naskah Eropa abad 16, 17, dan 18. Di dalam naskah-naskah Eropa pada abad-abad ini kata Aceh dieja Achin dan Atchin.

Dalam sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, kata Aceh ditulis Acih. Lombard mengungkapkan bahwa penulisan kata Aceh dengan Acih adalah penulisan yang sangat tepat jika ditinjau secara ilmiah. Dalam hal ini, Lombard memberikan alasan sebagai berikut.
Sesuai dengan sistem tranksripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, penulisan kata Aceh lebih tepat ditulis Acih. Tulisan ini memang yang paling baik mengungkapkan ucapannya dewasa ini. Setiap fonem dicatat dengan satu huruf saja, dan huruf i lebih baik daripada huruf e untuk mencatat huruf hidup kedua yang ucapannya sangat mendekati /i/….
Selanjutnya, sekitar akhir abad ke-19, menjelang peperangan yang bakal menumpahkan darah di seluruh bagian utara Sumatra, nama tanah Aceh dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yag membentang dari ujung utara pulau itu sampai dengan suatu garis khayal yang menghubungkan Tamiang di pantai Timur dengan Barus di Pantai Barat. Menurut Snouck Hurgronje, penduduknya membandingkan bentuk wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segi tiga itu dengan bentuk jeuèe (tampah tradisional).

Selain misteri tentang nama Aceh, provinsi ini juga juga masih menyimpan misteri perihal asal mula bahasa Aceh. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa Campa yang sampai sekarang masih digunakan di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina. Adanya hubungan bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa Campa yang ada di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina tampaknya cukup beralasan. Berdasarkan catatan sejarah, seorang pangeran dari Campa, Šah Pu Liaŋ (liŋ) diusir dari ibukotanya oleh bangsa Vietnam. Ia lalu mencari perlindungan di Aceh, lalu membentuk wangsa baru (Lombard, 2007:62). Tentu saja pembentukan wangsa baru ini sangat berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Aceh sebagai alat komunikasi mereka.
Ada juga para ahli yang menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, seperti bahasa Arab, Melayu, Indonesia, Sanskrit, Persia, Tamil, Belanda, Portugis, Inggris dan dari bahasa Mon-Khmer di Asia Tenggara.
Penjelasan di atas membuktikan bahwa Aceh sebetulnya sejak dulu telah memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa luar. Hal ini tentu saja tak dapat dipungkiri apalagi jika kita mengingat Aceh yang pada masa Sultan Iskandar Muda pernah mencapai puncak kejayaannya.


Sumber: https://nahulinguistik.wordpress.com/2015/02/23/catatan-singkat-tentang-nama-aceh-dan-asal-mula-bahasa-aceh/

Minggu, 25 Desember 2016

Kode Etik Guru Indonesia

Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, oleh kerena itu, Guru Indonesia terpangil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut :
1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
  • Guru menghormati hak individu dan kepribadian anak didiknya masing- masing
  • Guru berusaha mensusseskan pendidikan yang serasi (jasmaniyah dan rohaniyah) bagi anak didiknya
  • Guru harus menghayati dan mengamalkan pancasila
  • Guru dengan bersunguh-sunguh mengintensifkan Pendidikan Moral Pancasila bagi anak didiknya
  • Guru melatih dalam memecahkan masalah-masalah dan membina daya krasai anak didik agar kelak dapat menunjang masyarakat yang sedang membangun
  • Guru membantu sekolah didalam usaha menanamkan pengetahuan keterampilan kepada anak didik.
2. Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
  • Guru menghargai dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didiknya masing-masing
  • Guru hendaknya luwes didalam menerapkan kurikulum sesuai dengan klebutuhan anak didik masing-masing
  • Guru memberi pelajaran di dalam dan di luar sekolah berdasarkan kurikulum tanpa membeda-bedakan Janis dan posisi orang tua muridnya
3. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik,. Tetapi menghindarkan diri dari segtsala bentuk penyalah gunaan
  • Komunikasi Guru dan anak didik didalam dan diluar sekolah dilandaskan pada rasa kasih saying
  • Untuk berhasilnya pendidikan, maka Guru harus mengetahui kepribadian anak dan latar belakangt keluarganya masing-masing.
  • Komunikasi Guru ini hanya diadakan semata-mata untuk kepentingan pendidikan anak didik
4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik
  • Guru menciptakan suasana kehidupan sekol;ah sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah
  • Guru menciptakan hubungan baik dengan orang tua murid sehingga dapat terjalin pertukaran informasi timbale balik untuk kepentingan anak didik
  • Guru senantiasa menerima dengan lapang dada setiap kritik membangun yang disampaikan orang tua murid/ masyarakat terhadap kehidupan sekolahnya.
  • Pertemuan dengan orang tua murid harus diadakan secara teratur
5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat disekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan
  • Guru memperluas pengetahuan masyarakat mengenai profesi keguruan
  • Guru turut menyebarkan program-progaram pendidikan dan lkebudayaan kepada masyarakat seketernya, sehingga sekolah tersebut turut berfubgsi sebagai pusat pembinaan dan pengembangan pendidikan dan kebudayaan ditempat itu
  • Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai unsur pembaru bagi kehidupan dan kemajuan daerahnya.
  • Guru turut bersama-sama masyarakat sekitarnya didalam berbagai aktifitas
  • Guru menusahakan terciptanya kerjasama yang sebaik-bainya antara sekolah, orang tua murid, dan masyarakat bagi kesempurnaan usaha pendidikan atas dasar kesadaran bahwa pendidikan merupakan tangung jawab nersama antara pemerintah, orang tua murid dan masyarakat.
6. Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
a. Guru melanjutkan setudinya dengan :
  • Membaca buku-buku
  • Mengikuti loka karya, seminar, gterakan koperasi, dan pertemuan-pertemuan pendidikan dan keilmuan lainnya
  • Mengikuti penataran
  • Mengadakan kegiatan-kegiatan penelitian
b. Guru selalu bicara, bersikap dan bertindak sesuai dengan martabat profesinya, 

7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesame guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan keseluruhan.
  • Guru senantiasa saling bertukar informasi pendapat, salung menasehatri dan Bantu-membantu satu sama lainnya, baik dalam hubungan kepentingan pribadi maupun dalam menuaikan tugas profgesinya
  • Guru tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan nama baik rekan- rekan seprofesinya dan menunjang martabat guru baik secara keseluruhan maupun secara pribadi
8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan organisasi guru professional sebagai sarana pengabdiannya.
  • Guru menjadi anggota dan membantu organisasi Guru yang bermaksud membina profesi dan pendidikan pada umumnya
  • Guru senantiasa berusaha bagi peningkatan persatuan diantara sesame pengabdi pendidikan
  • Guru senantiasa berusaha agar menghindarkan diri dari sikap-sikap ucapan, dan tindakan yag merugikan organisasi
9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan
  • Guru senantiasa tunduk terhadap kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang pendidikan
  • Guru melakukan tugas profesinya dengan disiplin dan rasa pengabdian
  • Guru berusaha membantu menyebarkan kebijak sanaan dan program pemerintah dalam bidang pendidikan kepada orang tua murid dan masyarakat sekitarnya
  • Guru berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan pendidikan dilingkungan atau didaerahnya sebaik-baiknya.[Ai]

sumber: http://www.artikelind.com/2011/06/kode-etik-guru-indonesia.html

Sabtu, 24 Desember 2016

Apa Itu Demokrasi?

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan  politik secara bebas dan setara.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) "kekuasaan rakyat" yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara kota-Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis pertengahan dan Latin Pertengahan lama.

Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang 
satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.

Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsund, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Perancis.



Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi