Minggu, 01 Januari 2017

Kematian dan Kesalahpahaman

when-the-tree-dies
pic.pilpix.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Masih teringat jelas di kepala saya, ketika saya diberikan penjelasan, bahwa Bobo, anjing kesayangan saya, meninggal. Saya masih kecil, dan belum sungguh paham, apa artinya, jika sesuatu itu meninggal. Apakah dia menghilang? Begitu pertanyaan saya.
Mbak Inah, pembantu di keluarga kami yang sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri, hanya berkata, “Bobo sudah pergi ke surga, Sinyo.” Surga? Tempat apa itu. Yang saya tahu, bobo kini hidup di taman depan rumah kami bersama dengan pohon dan rumput yang tumbuh di situ.
Setelah itu, beragam peristiwa terkait dengan kematian mulai menjadi pertanyaan buat saya. Diawali dengan kematian kakek dari tetangga saya. Kami mengenalnya sebagai “Engkong baik hati” yang suka memberikan kue dan permen untuk kami, anak-anak kecil yang suka berlarian di depan rumahnya. Yang paling puncak dan memukul saya adalah kematian ayah saya yang begitu mendadak pada 2014 lalu.
Antara Ketakutan dan Harapan
Dihadapkan pada pertanyaan tentang kematian, banyak orang dikepung oleh ketakutan. Mereka membayangkan peristiwa perpisahan dengan apa yang mereka anggap berharga dalam hidup. Ada yang membayangkan neraka yang penuh dengan api panas, dan ada yang membayangkan surga yang penuh dengan buah manis. Kecemasan dan ketakutan terselip di balik dua bayangan itu.
Orang lalu terpaku untuk hidup sehat, guna memperlambat kematian. Mereka berolahraga dengan giat, serta terobsesi dengan segala macam program kesehatan, mulai dari diet ala Dedi Corbuzier sampai dengan membeli peralatan fitness pribadi untuk di rumah. Di balik segala usaha yang sekilas tampak mulia itu, sesungguhnya ada ketakutan yang tak pernah bisa dilepas.
Kita juga sedih dan takut, ketika mendengar berita kematian. Kita merasa sedih, ketika membaca berita kematian, akibat perang yang tak henti-hentinya di Timur Tengah. Kita merasa sedih, ketika mendengar, teman dekat atau saudara kita meninggal. Kematian mengundang beragam emosi yang seringkali sulit dikendalikan.
Ada juga yang melihat kematian sebagai harapan. Bagi mereka, hidup adalah penderitaan. Hidup dipenuhi dengan tantangan dan ketidakadilan. Maka, kematian lalu menjadi jalan keluar, guna mendapatkan keadaan yang lebih baik.
Namun, di balik ketakutan dan harapan, apa sesungguhnya kematian itu? Apakah ia ada? Apakah ia hanya sekedar konsep atau bayangan kita? Mengapa ia dipenuhi begitu banyak misteri yang mengundang kecemasan sekaligus harapan?
Perubahan dan Kesalingterkaitan
Jika kita bilang, bahwa sesuatu itu mati, kita secara tidak langsung menyatakan, bahwa sesuatu itu berakhir. Ada titik yang mengakhiri keberadaannya. Ada keterputusan antara yang “ada”, dan menjadi yang “tiada”. Namun, apakah sesuatu itu pernah sungguh berakhir?
Bobo, anjing saya, kini menyatu dengan pohon, rumput serta buah di taman depan kami yang kecil. Abu jenazah dari “Engkong yang baik hati” kini tersebar di lautan di dekat Pantai Ancol. Abu ayah saya kini menyatu bersama ikan dan beragam mahluk hidup lainnya di laut Jawa.
Mereka tidak berakhir. Mereka bergerak lanjut. Mereka berubah. Mereka memperkaya kehidupan. Mereka tidak terputus. Mereka tidak “mati”.
Salah satu hukum utama di dalam fisika modern adalah hukum kekekalan energi. Isinya menegaskan, bahwa energi tidak bisa musnah. Ia hanya bisa berubah. Mereka yang “mati” tidaklah berakhir, melainkan berubah, dan memperkaya kehidupan semesta.
Di dalam Filsafat Timur, keberadaan (existence) selalu terkait dengan perubahan (impermanence) dan kesalingterkaitan (interdependence). Artinya, keberadaan kita tidaklah pernah tetap. Ia selalu berubah sejalan dengan perubahan segala hal yang ada di semesta. Kita juga tidak pernah sendirian, melainkan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari segala yang ada di alam semesta ini.
Kesalahpahaman
Belajar dari fisika modern dan filsafat Timur, kita bisa bilang, bahwa kematian itu tidak ada. Ketika orang “mati”, tubuh dan energinya bergerak terus memperkaya kehidupan semesta yang selalu menjadi bagian dari dirinya. Kita tidak pernah berakhir. Tidak ada titik dan kata putus di dalam keberadaan kita.
Kematian, dengan demikian, adalah kesalahpahaman. Kematian adalah konsep yang lahir dari kesalahan berpikir. Sejatinya, senyatanya, kita tidak pernah mati, dan kita tidak pernah lahir. Kita selalu ada di alam semesta ini dengan segala bentuk yang kita gunakan, dan selalu dalam hubungan dengan segala hal yang ada.
Bobo, anjing saya tercinta, kini menjadi buah yang siap dimakan, ketika musimnya tiba. Ayah saya kini menjadi bagian dari lingkungan laut yang juga tak bisa dipisahkan dari kehidupan lainnya. Semuanya saling terhubung dan tak terpisahkan. Kita adalah mereka.
Namun, senyatanya, tidak ada kita. Tidak ada mereka. Semua hanyalah konsep. Senyatanya, kita semua satu dan sama. Tak ada mati. Tak ada hidup. Tak ada gerak. Tak ada perubahan. Tak ada keterpisahan. Tak ada perpisahan. Mungkin sebaiknya, kita menari….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar